SIT CORDOVA

Hari Jumat adalah hari dan waktu yang mustajab untuk berdoa

Hari Jumat adalah hari dan waktu yang mustajab untuk berdoa

Amalan sunah di hari Jumat

1. Membaca surah Al Kahfi.

Rasullulah menganjurkan umatnya untuk membaca surah Al-Kahfi di hari Jumat atau pada malam Jumat. Dalam surah Al-Kahfi terdapat 110 ayat dan merupakan surah ke-18 dari 114 surah dalam Alquran. Dianjurkan bahwa sebaiknya surat Al-Kahfi dibaca saat terbenamnya matahari di hari Kamis hingga terbenamnya matahari di hari selanjutnya, yaitu hari Jumat.

Rasulullah SAW bersabda:

Barang siapa membaca surat al-Kahfi pada hari Jumat, maka Allah memberinya sinar cahaya di antara dua Jumat.

2. Perbanyak zikir.

Dengan berzikir, seorang muslim akan senantiasa mengingat kekuasaan Allah. Dalam Alquran surah Al-Jumu’ah ayat 9, Allah berfirman:

Amalan Jumat © 2020 brilio.net 

View Image

Yaa ayyuhallaziina aamanuu izaa nudiya lis-salaati miy yaumil-jumu’ati fas’au ilaa zikrillaahi wa zarul baii’, zaalikum khairul lakum ing kuntum ta’lamun

Artinya:

Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.

3. Membaca salawat.

Selain memperbanyak zikir, Rasulullah juga menganjurkan bagi umat Islam untuk membaca salawat pada hari Jumat. Zikir dan salawat juga bisa membantu dalam kesulitan di dunia maupun akhirat.

4. Perbanyak doa.

Dalam sebuah hadis dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah menyebut hari Jumat kemudian berkata:

Di hari Jumat itu terdapat satu waktu yang jika seseorang muslim melakukan shalat di dalamnya dan memohon sesuatu kepada Allah Ta’ala, niscaya permintaannya akan dikabulkan. Lalu beliau memberi isyarat dengan tangannya yang menunjukkan sedikitnya waktu itu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam hadis tersebut dijelaskan bahwa sedikit waktu yang dimaksud adalah detik terakhir pada hari Jumat, tepatnya ketika mejelang maghrib, saat matahari akan terbenam di hari Jumat.

5. Mandi Jumat.

Terdapat sunah mandi Jumat yang sebaiknya dilaksanakan oleh seorang muslim. Mandi ini tentu berbeda dengan mandi pada hari biasanya karena dilakukan dengan niat mandi Jumat.

Rasulullah bersabda:

Mandi pada hari Jumat adalah wajib bagi setiap orang yang telah baligh.” (HR. Bukhari dan Muslim)

6. Membersihkan diri dan menggunakan wewangian.

Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

Barangsiapa yang mandi pada hari Jumat dan bersuci semampunya, lalu memakai minyak rambut atau minyak wangi kemudian berangkat ke masjid dan tidak memisahkan antara dua orang, lalu shalat sesuai dengan kemampuan dirinya, dan ketika imam memulai khutbah, ia diam dan mendengarkannya maka akan diampuni dosanya mulai Jum’at ini sampai Jum’at berikutnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

7. Memakai pakaian terbaik.

Setelah mandi, membersihkan diri serta menggunakan wewangian pada tubuh, pada hari Jumat seorang muslim dianjurkan untuk memakai pakaian terbaik. Pakaian terbaik ini bukan berarti harus pakaian dengan harga yang mahal, namun pakaian yang sesuai digunakan untuk beribadah.

Rasulullah bersabda:

Wajib bagi kalian membeli 2 buah pakaian untuk shalat Jum’at, kecuali pakaian untuk bekerja.” (HR. Abu Dawud dan Ibnu Majah, dinilai shahih oleh Al Albani)

8. Menyegerakan berangkat ke masjid.

Bagi seorang muslim laki-laki, pada hari Jumat diwajibkan untuk melaksanakan salat Jumat di masjid. Untuk melaksanakan salat Jumat, seorang muslim sebaiknya menyegerakan untuk berangkat ke masjid dalam artian berangkat lebih awal untuk melaksanakan salat Jumat dan jangan sampai terlambat.

Anas bin Malik berkata, “Kami berpagi-pagi menuju sholat Jumat dan tidur siang setelah shalat Jumat.” (HR. Bukhari)

9. Memperbanyak salat sunah sebelum khatib naik mimbar.

Barangsiapa yang mandi kemudian datang untuk sholat Jumat, lalu ia sholat semampunya dan dia diam mendengarkan khutbah hingga selesai, kemudian sholat bersama imam, maka akan diampuni dosanya mulai Jumat tersebut sampai Jumat berikutnya ditambah tiga hari.” (HR. Muslim)

10. Salat sunah setelah salat Jumat.

Setelah salat Jumat selesai, seorang muslim laki-laki dianjurkan untuk mengerjakan salat sunah setelah salat Jumat. Dalam sebuah hadis, Rasulullah bersabda:

Apabila kalian telah selesai mengerjakan shalat Jumat, maka shalatlah 4 rakaat.” Amr menambahkan dalam riwayatnya dari jalan Ibnu Idris, bahwa Suhail berkata, “Apabila engkau tergesa-gesa karena sesuatu, maka shalatlah 2 rakaat di masjid dan 2 rakaat apabila engkau pulang.” (HR. Muslim, Tirmidzi)

11. Membaca surah As-Sajadah dan surah Al-Insan.

Rasulullah biasa membaca surat tertentu pada hari Jumat. Di antaranya As-Sajadah dan surah Al-Insan. Jadi sebaiknya, sebagai seorang muslim yang baik juga harus meniru kebiasaan Beliau.

Dari Aisyah radhiyyallahu’anha, ia berkata bahwa:

Rasulullah biasa membaca pada sholat subuh pada hari Jumat ‘Alam Tanzil’ (surat As Sajadah) pada rokaat pertama dan ‘Hal ataa’alal insaani hiinum minad dahri lam yakun syai-am madzkuro’ (surat Al Insan) pada rokaat kedua.” (HR. Muslim)

12. Melaksanakan salat Dhuha.

Dari Abu Dzar radhiyallahu’anhu, ia mendengar Rasulullah bersabda:

Pada pagi hari, setiap ruang tulang salah seorang di antara kalian itu ada sedekahnya. Maka setiap tasbih adalah sedekah, setiap tahmid adalah sedekah, setiap tahlil adalah sedekah, setiap takbir adalah sedekah, memerintahkan kepada kebaikan adalah sedekah, melarang dari kemungkaran adalah sedekah dan yang mencukupkan dari semua itu adalah dua rokaat sholat dhuha.” (HR. Muslim)

13. Salat sunah qabliyah dan bakdiyah.

Salat qabliyah dzuhur adalah salat sunah yang dikerjakan sebanyak 2 sampai 4 rakaat sebelum saat dzuhur. Sedangkan salat bakdiyah dzuhur adalah salat sunah yang dilakukan setelah salat dzuhur. Hal ini bisa dikerjakan oleh seorang muslim perempuan yang tidak mengerjakan salat Jumat seperti muslim laki-laki.

14. Perbanyak sedekah.

Sedekah dapat dilakukan pada hari apa saja, namun sedekah di hari Jumat sangat dianjurkan oleh Rasulullah.

15. Memotong kuku dan mencukur rambut.

Di hari Jumat, Rasulullah mensunahkan untuk membersihkan anggota tubuh seperti memotong kuku dan mencukur rambut. Imam Nawawi rahimahullah mengatakan:

Imam Syafi’i dan para ulama mahzab Syafi’iyah rahimahullah menegaskan dianjurkannya memotong kuku dan mencukur rambut-rambut pada tubuh (kumis dan bulu kemaluan) pada hari Jumat.” (Al-Majmu’Syarh Al-Muhadzdzab, 1:287)

 

Sumber : https://www.brilio.net/wow/15-amalan-sunah-di-hari-jumat-yang-dianjurkan-rasulullah-200724p.html

Beberapa Adab Terhadap Orang Tua

Beberapa Adab Terhadap Orang Tua

Berikut ini beberapa adab yang baik dan akhlak yang mulia kepada orang tua:

1. Tidak memandang orang tua dengan pandangan yang tajam atau tidak menyenangkan

2. Tidak meninggikan suara ketika berbicara dengan orang tua

Dalil kedua ada di atas adalah hadits Al Musawwir bin Makhramah radhiallahu’anhu mengenai bagaimana adab para Sahabat Nabi terhadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, disebutkan di dalamnya:

وإذا تكَلَّمَ خَفَضُوا أصواتَهم عندَه ، وما يُحِدُّون إليه النظرَ؛ تعظيمًا له

jika para sahabat berbicara dengan Rasulullah, mereka merendahkan suara mereka dan mereka tidak memandang tajam sebagai bentuk pengagungan terhadap Rasulullah” (HR. Al Bukhari 2731).

Syaikh Musthafa Al ‘Adawi mengatakan: “setiap adab di atas terdapat dalil yang menunjukkan bahwa adab-adab tersebut merupakan sikap penghormatan”.

Maka dari hadits ini merendahkan suara dan tidak memandang dengan tajam merupakan akhlak yang mulia dan sikap penghormatan yang tentu sangat layak untuk kita terapkan kepada orang tua. Karena merekalah orang yang paling layak mendapatkan perlakuan yang paling baik dari kita. Sebagaimana telah dijelaskan pada materi sebelumnya.

3. Tidak mendahului mereka dalam berkata-kata

Diantara adab yang mulia kepada orang tua adalah tidak mendahului mereka dalam berkata-kata dan mempersilakan serta membiarkan mereka berkata-kata terlebih dahulu hingga selesai. Lihatlah bagaimana Abdullah bin Umar radhiallahu’anhu menerapkan adab ini. Beliau berkata:

كنَّا عندَ النَّبيِّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ فأتيَ بِجُمَّارٍ، فقالَ: إنَّ منَ الشَّجرةِ شجَرةً، مثلُها كمَثلِ المسلِمِ ، فأردتُ أن أقولَ: هيَ النَّخلةُ، فإذا أنا أصغرُ القومِ، فسَكتُّ، فقالَ النَّبيُّ صلَّى اللهُ عليْهِ وسلَّمَ: هيَ النَّخلةُ

kami pernah bersama Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam di Jummar, kemudian Nabi bersabda: ‘Ada sebuah pohon yang ia merupakan permisalan seorang Muslim’. Ibnu Umar berkata: ‘sebetulnya aku ingin menjawab: pohon kurma. Namun karena ia yang paling muda di sini maka aku diam’. Lalu Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam pun memberi tahu jawabannya (kepada orang-orang): ‘ia adalah pohon kurma’” (HR. Al Bukhari 82, Muslim 2811).

Ibnu Umar radhiallahu’anhuma melakukan demikian karena adanya para sahabat lain yang lebih tua usianya walau bukan orang tuanya. Maka tentu adab ini lebih layak lagi diterapkan kepada orang tua.

4. Tidak duduk di depan orang tua sedangkan mereka berdiri

Dalilnya hadits Jabir bin Abdillah radhiallahu’anhu:

اشتكى رسولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم فصلينا وراءَه وهو قاعدٌ, وأبو بكرٍ يُسْمِعُ الناسَ تكبيرَه, فالتفتَ إلينا فرآنا قيامًا فأشار إلينا فقعدنا, فصلينا بصلاتِه قعودًا. فلما سلَّمَ قال: إن كدتُم آنفًا لتفعلون فعلَ فارسَ والرومِ, يقومون على ملوكِهم وهم قعودٌ. فلا تفعلوا. ائتموا بأئمَّتِكم. إن صلى قائمًا فصلوا قيامًا وإن صلى قاعدًا فصلوا قعودًا

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengaduh (karena sakit), ketika itu kami shalat bermakmum di belakang beliau, sedangkan beliau dalam keadaan duduk, dan Abu Bakar memperdengarkan takbirnya kepada orang-orang. Lalu beliau menoleh kepada kami, maka beliau melihat kami shalat dalam keadaan berdiri. Lalu beliau memberi isyarat kepada kami untuk duduk, lalu kami shalat dengan mengikuti shalatnya dalam keadaan duduk. Ketika beliau mengucapkan salam, maka beliau bersabda, ‘kalian baru saja hampir melakukan perbuatan kaum Persia dan Romawi, mereka berdiri di hadapan raja mereka, sedangkan mereka dalam keadaan duduk, maka janganlah kalian melakukannya. Berimamlah dengan imam kalian. Jika dia shalat dalam keadaan berdiri, maka shalatlah kalian dalam keadaan berdiri, dan jika dia shalat dalam keadaan duduk, maka kalian shalatlah dalam keadaan duduk” (HR. Muslim, no. 413).

Para ulama mengatakan dilarangnya hal tersebut karena merupakan kebiasaan orang kafir Persia dan Romawi. Maka hendaknya kita menyelisihi mereka.

5. Lebih mengutamakan orang tua daripada diri sendiri atau iitsaar dalam perkara duniawi

Hendaknya kita tidak mengutamakan diri kita sendiri dari orang tua dalam perkara duniawi seperti makan, minum, dan perkara lainnya. Sebagaimana hadits dalam Shahihain mengenai kisah yang diceritakan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam mengenai tiga orang yang terjebak di dalam gua yang tertutup batu besar, kemudian mereka bertawassul kepada Allah dengan amalan-amalan mereka, salah satunya berkata:

اللهمّ ! إنه كان لي والدان شيخان كبيران . وامرأتي . ولي صبيةٌ صغارٌ أرعى عليهم . فإذا أرحتُ عليهم ، حلبتُ فبدأتُ بوالدي فسقيتُهما قبل بنيّ . وأنه نأى بي ذاتَ يومٍ الشجرُ . فلم آتِ حتى أمسيتُ فوجدتُهما قد ناما . فحلبتُ كما كنت أحلبُ . فجئتُ بالحلابِ . فقمت عند رؤوسِهما . أكرهُ أن أوقظَهما من نومِهما . وأكرهُ أن أسقيَ الصبيةَ قبلهما . والصبيةُ يتضاغون عند قدمي . فلم يزلْ ذلك دأبي ودأبُهم حتى طلع الفجرُ . فإن كنت تعلم أني فعلتُ ذلك ابتغاءَ وجهِك ، فافرجْ لنا منه فرجةً ، نرى منها السماءَ . ففرج اللهُ منه فرجةً . فرأوا منها السماءَ

Ya Allah sesungguhnya saya memiliki orang tua yang sudah tua renta, dan saya juga memiliki istri dan anak perempuan yang aku beri mereka makan dari mengembala ternak. Ketika selesai menggembala, aku perahkan susu untuk mereka. Aku selalu dahulukan orang tuaku sebelum keluargaku. Lalu suatu hari ketika panen aku harus pergi jauh, dan aku tidak pulang kecuali sudah sangat sore, dan aku dapati orang tuaku sudah tidur. Lalu aku perahkan untuk mereka susu sebagaimana biasanya, lalu aku bawakan bejana berisi susu itu kepada mereka. Aku berdiri di sisi mereka, tapi aku enggan untuk membangunkan mereka. Dan aku pun enggan memberi susu pada anak perempuanku sebelum orang tuaku. Padahal anakku sudah meronta-ronta di kakiku karena kelaparan. Dan demikianlah terus keadaannya hingga terbit fajar. Ya Allah jika Engkau tahu aku melakukan hal itu demi mengharap wajahMu, maka bukalah celah bagi kami yang kami bisa melihat langit dari situ. Maka Allah pun membukakan sedikit celah yang membuat mereka bisa melihat langit darinya“.

Semoga yang sedikit ini bermanfaat. Wabillahi at taufiiq was sadaad.

ReferensiFiqhul Ta’amul ma’al Walidain, Asy Syaikh Al Muhaddist Musthofa Al ‘Adawi hafizhahullah

Jogja, 25 Rabi’uts Tsani 1437

***

Penulis: Yulian Purnama

Artikel Muslim.or.id

Simak selengkapnya disini. Klik https://muslim.or.id/27537-beberapa-adab-terhadap-orang-tua.html

Warnai dengan Al-Quran

Warnai dengan Al-Quran

Anak-anak merupakan amanah terbesar dari Allah yang harus dijaga, dilindungi dan dirawat dengan baik. Apalagi orang tua berperan penting dalam tumbuh kembang seorang anak, baik buruknya seorang anak tergantung orang tua ketika mendidik di waktu kecil. Nabi SAW bersabda: “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (beribadah kepada Allah). Lalu kedua orang tuanyalah yang menjadikannya sebagai seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi (Penyembah Api)”. (HR. Muslim)

Nah, melihat hadist di atas terbukti bahwasanya anak akan jadi seperti apa ketika dewasa tergantung orang tuanya yang mendidik. Seperti kata Imam Ghazali “Anak-anak kita adalah mutiara,” memang benar anak-anak itu bagai mutiara yang tak ternilai harganya. Bagaimna caranya agar mutiara tersebut tetap ada nilainya? Itu semua tergantung bagaimana cara orang tua menjaga dan merawatnya.

Tak jarang beberapa orang tua ketika anaknya menangis kebingungan untuk menenangkannya, dan berkata seperti ini. “Waah.. lihat itu burung di langit”. Padahal di langit tidak ada burung, memang menurut ilmu psikologi ketika anak menangis diminta untuk melihat ke atas. Tapi, tanpa sadar orang tua mengajarkan ketidak jujuran, ada juga ketika anak jatuh, orang tua menyalahkan lantainya. Tanpa sadar juga orang tua mengajarkan anak mengkambing-hitamkan lantai. Meski hal sepele itu kurang baik, karena setiap ucapan akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Itulah mengapa ketika dewasa beberapa anak merasa takut untuk mencoba hal baru, kurang percaya diri dan lain sebagainya. “Ketika anak diabaikan pada masa pertumbuhan awal, umumnya ia akan berakhlak buruk, seperti pendusta, pendengki, pencuri, suka mengadu domba, suka meminta, suka melakukan hal-hal tiada guna, suka tertawa, dan bertindak gila. Semua ini bisa dihindari dengan pendidikan yang baik”, tutur Imam Ghazali.

Tidak berhenti pada orang tua saja, pendidik atau sering disebut orang tua kedua di sekolah juga turut berkontribusi besar dalam mencetak karakter anak-anak. Negara akan maju jika memiliki generasi yang berpotensi, pemberani, mandiri dan berakhlak mulia. Melihat moral anak-anak saat ini cukup memperihatinkan, perlahan tergerus oleh zaman yang semakin modern. Di sinilah tugas seorang pendidik mengarahkan anak didiknya kepada kebaikan, sebagai fasilitator dalam belajar, sebagai uswah (teladan) di sekolah. Sebab setiap tindakan yang dilakukan seorang pendidik akan direkam anak didiknya, apalagi anak usia dini bisa dikatakan peniru ulung. Untuk itu harus berhati-hati setiap hendak berkata maupun bertindak.

Mendidik tidak asal-asalan ada ilmunya, apalagi mendidik anak-anak, harus penuh kasih sayang dan penuh cinta. Kenapa demikian? Karena anak-anak tidak bisa dipaksa ataupun dikasari. Hati mereka lembut, sulit ditebak dan suka bermain, untuk bisa bersama mereka, orang tua dan pendidik harus bisa masuk ke dunianya. Untuk itu, orang tua dan pendidik hendaknya berkolaborasi dengan baik dalam mendidik anak-anak. Mumpung hati mereka masih bersih tak terwarnai, warnai hati mereka dengan Al Quran agar senantiasa yang diperbuat maupun diucapkan tidak jauh dari koridor islam.
Waallahu‘alam..

Sumber: http://www.dakwatuna.com/2016/04/29/80281/warnai-al-quran

Tahapan Mendidik Anak Ala Rasulullah

Tahapan Mendidik Anak Ala Rasulullah

“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar” (QS. an-Nisaa’ : 9)

Sahabat Ummi, setiap orangtua mendambakan anak yang shaleh, cerdas, dan membanggakan, akan tetapi keinginan dan upaya yang dilakukan sering kali belum selaras.

Kita sebagai orangtua lebih banyak mengandalkan guru maupun tempat les untuk mencerdaskan anak-anak kita, padahal kunci cerdasnya anak, justru ada di rumah, ada pada kedua orangtua!

Orangtua perlu memahami bagaimana tahapan mendidik anak sesuai dengan usianya. Berikut ini adalah tahapan cara mendidik anak ala Rasulullah yang insya Allah dapat mencerdaskan anak-anak kita, baik secara intelektual maupun emosional.

1. Mendidik anak usia 0 hingga 6 tahun: Perlakukan anak sebagai raja

Anak usia 0-6 tahun merupakan usia emas atau Golden Age. Anak pada usia ini akan mengalami masa tumbuh kembang yang sangat cepat. Percepatan tumbuh kembang ini bisa dirangsang dengan mainan. Mainan akan sangat membantu agar anak menjadi anak yang cerdas.
Sedangkan Rasulullah sendiri menganjurkan kepada kita untuk senantiasa berlemah lembut terhadap anak kita yang masih berusia dari 0 hingga 6 tahun. Memanjakan, memberikan kasih sayang, merawat dengan baik dan membangun kedekatan dengan anak merupakan pola mendidik yang baik.

Zona merah: Jangan marah-marah! Jangan banyak larangan, jangan rusak jaringan otak anak, pahami bahwa anak masih kecil dan yang berkembang adalah otak kanannya.

Jadikan anak merasa aman, merasa dilindungi dan nyaman bersama orangtua. Ketika anak nakal maka janganlah membiasakan untuk dipukul supaya anak mau menurut. Memukul ataupun memarahi anak pada usia ini bukanlah cara yang tepat. Berikanlah kesempatan pada anak agar merasakan kebahagiaan yang berkualitas dimasa kecil.

2. Mendidik anak usia 7 hingga 14 tahun: Perlakukan anak sebagai tawanan perang/ pembantu

“Perintahkan anak-anakmu untuk shalat saat mereka telah berusia 7 tahun, dan pukullah mereka jika meninggalkannya ketika mereka berusia 10 tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR. Abu Dawud)

Perkenalkanlah anak dengan tanggung jawab dan kedisiplinan pada usia ini. Kita bisa melatihnya mulai dari memisahkan tempat tidurnya dan mendirikan shalat 5 waktu.

Pukullah anak ketika anak tidak mau mendirikan shalat. Tapi bukan pukulan yang menyakitkan atau pukulan di kepalanya. Atau kita bisa membuat sanksi-sanksi ketika anak melanggar, namun sanksi yang diberikan usahakan sesuai dengan kesepakatan antara anak dan orangtua.

Zona kuning: Zona hati-hati dan waspada. Latih anak mandiri mengurus dirinya sendiri, missal cuci piring, cuci baju, menyetrika. Pelajaran mandiri ini akan bermanfaat banyak di masa depannya, untuk kecerdasan emosionalnya.

3. Mendidik anak usia 15 hingga 21 tahun: Perlakukan anak seperti sahabat

Anak pada usia ini adalah usia dimana anak akan cenderung memberontak. Oleh karena itu dibutuhkan pendekatan yang baik kepada anak. Fungsinya adalah agar kita bisa meluruskan anak ketika anak berbuat kesalahan, karena kita dekat dengan anak.

Zona hijau: sudah boleh jalan. Anak sudah bisa dilepas mandiri dan menjadi duta keluarga.

Timbulkan rasa nyaman pada anak bahwa kita orangtua namun bisa bersikap seperti sahabat setia. Sahabat setia yang siap mendengar segala cerita dan curahan hati anak.
Masa ini adalah masa pubertas untuk anak-anak.

Jangan sampai ketika anak-anak punya masalah namun mereka cari solusi dan cari curhat ke tempat orang lain. Didiklah anak dengan membangun persahabatan meskipun kita adalah orangtuanya, agar anak tidak merasa bahwa kita adalah orang ketiga yang tidak boleh tahu tentang permasalahan dirinya.

Para orangtua juga dilarang untuk memarahi dan menghardik anak di hadapan adik-adiknya ataupun di depan kakak-kakaknya. Maksudnya supaya harga dirinya tidak jatuh sehingga anak tidak merasa rendah diri. Jalinlah pendekatan yang baik kepada anak.

Semoga bermanfaat.

Menjadi Orang Tua Yang Muslih

Menjadi Orang Tua Yang Muslih

Oleh: Ust.Djalaludin Asy Syatibi

Bismillahirrohmanirrohiim…

Seorang lelaki menegur Al-A’masyi, “Bagaimana Anda mau dikerumuni oleh anak-anak kecil seperti itu?” Lalu ulama dari kalangan Tabi’in itu menyahuti pertanyaan itu, “Kenapa tidak? Mereka itulah calon pembela agama Anda.”

Kisah di atas penulis nukilkan dari Kitab al-Kifaayah fii ‘Ilmi ar-Riwaayah karya Al-Khatib Al-Baghdady. Sungguh dalam kisah itu menyiratkan banyak pesan: kedekatan dan keakraban seorang ulama dengan anak-anak kecil, dan yang paling utama adalah bagaimana Al-A’masy melekatkan asanya terhadap anak-anak itu sebagai perisai terdepan dalam membela Islam.

Inilah yang dinamakan orientasi pendidikan anak untuk menjadi seorang pewaris para Nabi (waratsatul anbiya). Sebuah cetak biru seorang anak yang tak hanya seonggok harapan ego orang tua atau ambisi pribadinya. Tapi lebih dari itu ia adalah aspek terpenting dalam kerangka keummatan. Sang penyampai kebenaran dan tentunya sang reformis sejati seperti halnya digemakan oleh salah seorang Nabi Allah. Sang Reformis dalam bidang ekonomi Syuaib AS.,” Yang kukehendaki hanya reformasi sekuat tenagaku.” (11:88)

Adalah panutan Al-A’masy, Rasulullah SAW, telah lebih dulu memberikan isyarat ihwal cetak biru sang anak dalam kerangka keummatan. Tatkala Al-Mustafa SAW didera derita dan duka teramat dalam akibat cercaan dan lemparan batu penduduk Thaif, tepatnya di Qarnul Manazil, maka dihampirilah beliau oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Jabal (Gunung). Kedua utusan Allah menawari Rasulullah untuk menimpakkan dua gunung atas penduduk Thaif yang enggan menerima cahaya Islam. Perhatikanlah, apa jawaban Rasulullah, “Tapi saya berharap kepada Allah agar memunculkan dari anak cucu mereka yang menyembah Allah dan sekali-kali tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”

Nah, dalam konteks kekitaan sebagai dai, murobbi, dan penyeru dakwah, merupakan sebuah keniscayaan menjadikan anak-anak kita sebagai asset umat, yang berperan sebagai halqatul washl (penyambung) perjuangan dakwah. Bukan sekedar menghantarkan anak-anak kita meraih ego pribadinya, tanpa sedikitpun berkontribusi dan bersaham untuk ishlahul ummah-mereformasi ummat. Konsep ini kemudian dilukiskan oleh Al-Qur’an sebagai bagian dari untaian doa seorang yang sudah menginjak usia kematangan,

“…dan berikanlah aku kebaikan (wa ashlih lii) yang akan mengalir sampai anak cucuku…”(46:15)

Untaian doa itu jelas-jelas menginginkan agar generasi kemudian tertulari kebaikan-kebaikan pendahulunya, yang antara lain kebaikan sebagai dai, murobbi dan penyeru. Menarik untuk direnungi, penggalan doa wa ashlih lii dapat juga diartikan sebuah permohonan tulus agar para orangtua direformasi terlebih dulu, untuk kemudian mereka dapat mengishlaah anak cucunya, sehingga dengan demikian terjadi regenerasi kebaikan.

Tentu mencetak anak menjadi pewaris para nabi, dai, dan reformis tak segampang membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang dapat mewarnai (shibghoh) sang anak. Namun dari sekian banyak hal itu, lingkungan pertama anaklah yang paling menentukan, yaitu keluarga, yang terdiri ayah dan ibu sang anak. Di sinilah peran orangtua menjadi demikian krusial dalam kaitan cetak biru si anak. Oleh karenanya, Rasulullah telah mewanti-wanti kita semua bahwa, “Kedua orangtuanya lah yang menjadikan ia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”

Maka kata kuncinya adalah, untuk menjadikan anak itu seorang pewaris para nabi-sang reformis-, maka yang perlu dikemukakan di sini adalah: sudahkan orangtua memiliki kafaah (kompentensi) yang mushlih (reformis)? Karena faaqidu asyaysi laa yu’thiy.

Karakter Orangtua Mushlih

Pepatah mengatakan “Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Boleh dikatakan bahwa perilaku anak merupakan miniatur orangtuanya. Artinya, anak akan merekam semua tingkah laku orangtuanya. Pasalnya, orangtua merupakan guru pertama si anak, dan demikian pula keluarga merupakan sekolah perdananya. Terlebih lagi masa anak-anak merupakan masa penyetingan paling awal yang akan dapat menghitam putihkan seorang anak.

Dalam pepatah Arab dikatakan,
العلم في الصغر كالنقش في الحجر ، و العلم في الكبر كالغرز بالإبر

“Belajar ketika kecil tak ubahnya memahat di atas batu, sementara belajar ketika sudah berumur tak ubahnya menusuk dengan jarum.”

Walhasil, orangtua yang tengah memberikan asupan tarbiyah kepada anaknya tak jauh beda dengan seseorang yang sedang mengukir di atas batu, yang tak pelak lagi ukiran itu merupakan torehan yang tak akan lekang dalam sekejap, tapi memerlukan rentang waktu lumayan lama untuk menghilangkan torehan itu.

Jadi, tak diragukan lagi bahwa orang tua memegang peranan sangat strategis dalam menentukan putih atau hitamnya seorang anak. Maka dalam kaitan ini, perlu kiranya kita-sebagai orangtua- mereevaluasi perilaku-perilaku kita, dengan sebuah pengharapan agar perilaku-perilaku kita kompeten untuk menjadi pribadi-pribadi pewaris para nabi, dai, murobbi dan seorang reformis sejati. Dengan demikian, kita tidak menjadi pribadi yang ambigu seperti disindir Allah SWT,

“Apakah kalian menyuruh manusia untuk berbuat kebajikan sementara kalian melupakan diri kalian.” (2:44)

Dan mencari sosok yang memiliki kompetensi sebagai orangtua yang ashlih lii (baca:mushlih) tidaklah sulit. Rasululah merupakan telaga teladan dalam banyak hal tanpa kecuali Rasulullah sebagai orangtua. Dan sifat-sifat Rasulullah dalam mentarbiyah anak-anaknya adalah:

Pertama, bersikap adil. Keadilan merupakan kebenaran universal. Islam memandang keadilan sebagai hal yang dapat mendekatkan kepada ketaqwaan. Penegakkan keadilan dalam tataran kehidupan bernegara sama pentingnya dalam tataran kehidupan keluarga.

Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang berlaku adil akan dimuliakan di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, yaitu mereka yang berlaku adil dalam hukumnya, berlaku adil terhadap keluarga dan apa saja yang mereka pimpin.” (HR. Muslim)

Keadilan orangtua atas anak-anaknya akan mendatangkan ketenteram dan ketenangan. Sudah barang tentu tumbuh kembang psikologis anak akan sehat jika lingkungan tempat ia hidup sehat. Sehingga, pelbagai patologi sosial yang mengancam si anak semakin tak menemukan relevansinya. Lingkungan yang dikungkungi keadilan merupakan ranah yang haram bagi iri, dengki, benci, amarah, permusuhan dan prasangka-prasangka buruk. Dan kisah Nabi Yusuf menyisakan pelajaran penting ihwal perlakukan tidak adil yang dirasakan saudara-saudara Yusuf. Alhasil, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu dipenuhi dengan intrik, konspirasi dan aksi balas dendam.

Maka wajar saja Rasulullah pernah menegur keras seorang lelaki yang mencium anak lelakinya dan tak melakukan hal yang sama terhadap anak perempuannya. “Kamu tidak bersikap adil di antara keduanya,” ujar Rasulullah (HR. Baihaqi)

Lebih tegas lagi Rasulullah berpesan kepada kita, “Bertaqwalah kepada Allah, bersikap adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Muslim)

Kedua, bersikap sabar, yaitu menahan jiwa dari rasa putus asa, lisan dari keluh kesah dan jasmani dari aksi-aksi vandalisme. Jiwa menyekam rasa putus asa, lisan ekspresi kata-kata dan puncaknya diekspresikan oleh aksi-aksi brutal yang tak terkendali.

Adalah anak-anak yang kerapkali menjadi sumber rasa putus asa, kekesalan dan tumpahan kekerasan fisik. Pasalnya, dunia anak selain menggemaskan sekaligus mengesalkan. Karenanya orangtua dituntut sabar dalam menghadapi anak-anaknya. Sesungguhnya dalam kesabaran itu ada kejernihan pikir. Rasulullah menyebutnya “Sabar itu cahaya”. Sesungguhnya pula kesabaran itu sifat pemimpin sejati. Bersikap sabar terhadap anak berarti pula mengajari anak secara verbal tentang makna penting dari kesabaran, yang merupakan prasyarat kandidat pemimpin handal. Faktanya pemimpin akan selalu dihadapkan pada pelbagai macam prilaku dan masalah yang mendera rakyatnya.

“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”(As-Sjadah: 56)

Ketiga, kasih sayang. Allah SWT telah menjadikan anak sebagai pribadi yang sangat tergantung kepada orang lain, terutama ibunya. Sebuah studi menemukan bahwa anak bayi akan mengenal ibunya hanya beberapa saat sejak kelahirannya melalui ciuman. Lalu, mulailah sang anak itu menantikan perlindungan, kelembutan dan sentuhan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Karena itu, anak akan selalu mencari orang yang membuatnya sumringah, membelai wajahnya, memanjakannya, mencandainya dan mengajaknya bicara dan bermain. Maka, sejauh mana kelembutan dan kasih sayang yang diberikan kepada si anak, sejauh itulah kelapanga dirinya untuk mencintai dan mengasihi orang lain di masa depan.

Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shalat Jum’at sambil menggendong putri beliau Umamah Binti Zainab. Jika Rasulullah sujud, beliau meletakkannya dan manakala bangkit dari sujud, beliau menggendongnya kembali. Pada riwayat lainnya diceritakan bahwa Rasulullah mempercepat shalatnya gara-gara ada anak yang tengah menangis.

Abdullah bin Syidad menceritakan,

بينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بالناس إذ جاءه الحسين فركب عنقه و هو ساجد ، فأطال السجود بين الناس حتى ظنوا أنّه قد حدث أمر فلما قضى صلاته ، سألوه عن ذلك ، فقال عليه الصلاة و السلام : (إن ابني ارتحلني ، فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته

Ketika Rasulullah menjadi imam shalat, tiba-tiba Husen datang menghampiri beliau dan langsung menunggangi leher beliau ketika beliau sujud, maka beliau memanjangkan sujudnya sampai-sampai orang menyangka bahwa telah terjadi sesuatu hal. Ketika shalat selesai, mereka bertanya ihwal kejadian itu. Rasulullah SAW mengatakan, “Sesungguhnya anakku menunggangiku, maka saya tidak mau ia terburu-buru (agar turun) sampai ia merasa puas.” (HR. An-Nasai)

Jika saat shalat saja Rasulullah tetap mencurahkan rasa kasih sayang dan kelembutan terhadap anak, tentu min baabil aula saat-saat di luar shalat. Ini saja sudah memberikan sinyal sangat kuat bahwa memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh disepelekan.

Sebenarnya sikap keras hati dan kasar hanya akan membuat orang menjauh. Demikian pula sikap kasih sayang akan kian mendekatkan hubungan anak dengan orangtuanya. Pada spectrum yang lebih luas lagi, lembut dan kasih sayang menyebabkan mendekatnya obyek-obyek dakwah. Allah telah memberikan bimbinganNya,

“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”

Dan akhirnya, secara lugas dan tegas Rasulullah mengatakan, “Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya.”

Lalu Rasulullah melanjutkan,

والذي نفسي بيده! لا يدخل الجنة إلاّ رحيم
“Demi Dzat yang jiawaku ada di Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali penyayang.” (HR Ibnu Bazzar)

Keempat, menjadi teladan. Keteladanan merupakan cara paling efektif dalam transfer berbagai corak nilai-nilai kebaikan. Pepatah Arab mengatakan bahwa contoh nyata satu orang bagi seribu orang lebih baik ketimbang kata-kata seribu orang untuk satu orang. Dalam kaitan ini orangtua benar-benar dituntut bisa menyelaraskan segala bentuk perilakunya. Hal demikian karena anak akan selalu melihat dan meniru tingkah pola orang tua ketimbang kata-katanya. Bagi anak, bahasa tubuh lebih mudah dipahami daripada bahasa lisan.

Ibnu Abbas mengenang masa kecilnya bersama Rasulullah, “Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah, dan aku melihat Rasulullah bangun malam. Setelah memasuki sebagian malam, beliau bangun dan berwudhu ringan dengan air dari dalam kantong kulit yang digantung di dinding kamarnya. Usai itu beliau pun mengerjakan shalat malam. Aku pun ikut bangun dan berwudhu dari tempat air yang dipergunakan beliau, kemudian aku berdiri shalat di samping kiri beliau, lalu beliau memindahkanku ke samping kanannya.” (HR Bukhari)

Selain itu, orangtua juga dituntut untuk senantiasa menyelaraskan antara perbuatan dan perkataan. Hal itu akan membantu anak dalam menginternalisasi nilai-nilai kejujuran pada diri anak. Abdullah Ibnu Amir bertutur bahwa saat Rasulullah berada di rumahnya tiba-tiba sang ibu memanggilnya, “Kemarilah! Saya akan memberimu.” Rasulullah pun menyela, “Apa yang akan engkau berikan?” “Saya akan memberinya kurma,” ujar wanita itu. Nabi pun menasehatinya, “Ingat! Jika ternyata engkau tidak memberinya apapun maka engkau akan tercatat sebagai pembohong.” (HR Abu Dawud)

Maka, tatkala seorang anak melihat adanya keselarasan antara kata-kata dan perbuatan, pada hakikatnya anak sedang diajari makna kejujuran, integritas dan komitmen. Imbasnya, orangtua akan memiliki wibawa di mata anak, sehingga orangtua akan selalu digugu, ditiru dan ditaati. Inilah yang dinamakan birrul waalidain, berbakti kepada orangtua.

Keterlibatan orangtua dalam memberikan keteladanan terhadap anak, adalah bagian dari sikap responsive orangtua dalam mempersiapkan anaknya untuk berbakti, tidak malah durhaka. Model orangtua proaktif seperti itu akan mendapatkan rahmat Allah SWT. “Semoga Allah merahmati orangtua yang menolong anaknya agar berbakti kepadanya,” kata Rasulullah (HR Ibnu Hibban)

Kelima, karakter orangtua yang reformis adalah senantiasa menghargai sang anak. Adalah Rasulullah yang pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan anak-anak Abbas lainnya. Beliau mengatakan, “Siapa saja yang dapat mendahului saya, dia akan mendapatkan ini.” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah sehingga mereka berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka dipegangi dan diciumi oleh beliau. Itulah sebuah bentuk penghargaan Nabi terhadap anak-anak.

Menghargai anak adalah bentuk pengakuan terhadap keberadaan sang anak, sehingga anak akan termotivasi untuk mengembangkan potensinya tanpa merasa malu dan minder. Ketika anak itu dihargai dan dipuji, maka itu akan membuatnya terdorong untuk kembali melakukan pekerjaan kebaikan yang pernah dilakukannya.

Ibnu Abbas bertutur, saat Rasulullah pergi ke tempat buang hajat, saya menyediakan air untuk wudhu beliau. Usai buang hajat, beliau melihat air tersebut telah tersedia. “Siapa yang membawakannya?” Tanya beliau. Setelah saya memberitahukannya, maka beliau pun mendoakan aku sebagai bentuk penghargaan,

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ilmu tentang tafsir Al-Qur’an.”

Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim itu merupakan kisah bagaimana Rasulullah memberikan penghargaan atas inisiatif Ibnu Abbas, dimana penghargaaan itu tidak identik dengan materi, tapi juga meliputi kata-kata yang membuat sang anak bersemangat.

Keenam, mengayomi. Syaikh Muhammad AL-Khidr dalam bukunya As-Sa’adatul Udhma memberikan sebuah analisa, banyak orang tidak menyadari kalau anak adalah salah satu dari pemimpin umat, hanya karena masih tertutup dengan baju anak. Seandainya apa yang ada di balik bajunya dibukakan kepada kita, niscaya kita akan melihat mereka layak disejajarkan dengan para pemimpin. Namun, sunnatullah menghendaki agar tabir itu disibakkan sedikit demi sedikit melalului pendidikan.

Merujuk ke analisa tadi, maka orangtua dituntut untuk mengayomi bakat-bakat dan kemampuan anak yang tersembunyi di balik tabir, bukan malah membunuhnya. Mengayomi artinya memelihara potensi-potensi anak sembari berupaya memberikan stimulasi-stimulasi untuk mengembangkan potensi anak seperti dengan metode bercerita, reward dan punishment, dan games-games yang bermanfaat. Oleh karena itu, orangtua dituntut kreatif dalam upaya pengembangan ini.

Adalah Umar bin Khatab yang telah memberikan contoh bagaimana mengayomi dan mengembangkan potensi seorang anak bernama Ibnu Abbas. Umar pernah mengajak Ibnu Abbas ke sebuah pertemuan yang dihadiri para pembesar Badar. Sebagian dari mereka mempertanyakan sikap Umar itu, karena mereka melihat majlis itu tak diperuntukkan untuk anak kecil. Hingga akhirnya para pembesar Badar itu sadar ihwal ketinggian ilmu Ibnu Abbas meski masih belia ketika Ibnu Abbas memberikan makna dari Surat An-Nashr sebagai isyarat sudah dekatnya ajal Rasulullah.

Sejarah Islam pun mencatat banyak sosok belia yang punya peran penting dalam kerangka keummatan. Usamah bin Zaid pada usia 17 tahun tercatat sebagai panglima perang dalam sebuah pasukan yang akan menghadapi tentara Romawi di wilayah Syam, padahal dalam pasukan itu tercatat nama Abu Bakar dan Umar. Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal sebagai duta Islam ke Yaman. Saat itu Muadz berusia 19 tahun.

Tentu yang harus diperhatikan para orangtua dalam proses pengembangan ini adalah adanya pentahapan (tadarruj), karena kemampuan akal seorang anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Rasulullah bersabda, “Perintahlah anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika enggan shalat) ketika berumur sepuluh tahun.” (HR Abu Dawud)

Ketujuh, komunikatif. Sebenarnya dari semua nilai-nilai yang akan diberikan kepada anak tidak akan pernah tersampaikan secara baik bila saluran komunikasinya buruk. Maka orangtua haruslah menjadi pribadi yang komunikatif, tidak tertutup dan berbicara hanya satu arah. Terjadinya komunikasi sehat antara orangtua dengan anak akan membantu menumbuhkan dan mempertajam penalarannnya serta menjadi lebih terbuka.

Umar pernah mendapati pengaduan seseorang yang anaknya dianggap durhaka. Umar pun bertanya kepada anak itu, “Apa yang menyebabkan kamu durhaka kepada ayahmu?” “Wahai Amirul Mukminin, apa sajakah hak anak yang harus ditunaikan oleh orangtuanya,” Tanya anak itu. Umar menjawabnya, “Memberi nama yang baik, memilihkan ibu yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.” Anak itu mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melaksanakan sedikit pun perkara itu terhadapku.” Maka Umar pun menasehati orangtua itu, “Kamu telah mendurhakai anakmu sebelum anakmu mendurhakaimu.”

Sangat jelas sekali buah dari adanya dialog yang komunikatif adalah adanya keterbukaan. Dengan begitu, segala permasalahan akan segera dapat ditemukan cara penyelesaiannya.

Demikianlah tujuh karakter orangtua reformis, yang kesemua karakter itu pada dasarnya merupakan sikap dasar seorang dai dan murobbi. Sebenarnya ketujuh karakter itu merupakan perilaku yang harus dipraktekkan, bukan sekedar teori kata-kata. Dengan demikian, para orangtua harus mempraktekkan karakter-karakter itu dengan sebenar-benarnya. Wallahua’lam bish showwab

*) Ust.Djalaludin Asy Syatibi adalah seorang tokoh agama di Bandung, mungkin teman-teman aktivis di Bandung sudah sangat familiar dengan nama beliau. Beliau adalah pendiri ponpes Miftahul Khoir di Bandung. dari segi usia beliau sudah termasuk sepuh namun beliau terkenal sebagai ustadz yang suka bercanda, sehingga materi-materi ceramahnya disampaikan dengan suasana yang ringan namun tetap dengan kedalaman ilmu dan hujjah. Beliau juga adalah kakak dari ustadz Syaiful Islam Mubarak, Lc yang merupakan tokoh dakwah juga di Bandung dan merupakan pendiri serta pencetus metode Tahsin sebagai metode belajar membaca Al Qur’an.

Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak

Jangan Remehkan Dakwah Kepada Anak

Oleh: Mohammad Fauzil Adhim

Jangan remehkan dakwah kepada anak-anak! Jika telah terikat hatinya dengan Islam, mereka akan mudah bersungguh-sungguh menetapi agama ini setelah dewasa. Jika engkau gembleng mereka untuk siap menghadapi kesulitan, maka kelak mereka tak mudah ambruk hanya karena langkah mereka terhalang oleh kendala-kendala yang menghadang. Tetapi jika engkau salah membekali, mereka akan menjadi beban bagi ummat ini di masa yang akan datang. Cemerlangnya otak sama sekali tidak memberi keuntungan jika hati telah beku dan kesediaan untuk berpayah-payah telah runtuh.

Maka, ketika engkau mengurusi anak-anak di sekolah, ingatlah sejenak. Tugas utamamu bukan sekedar mengajari mereka berhitung. Bukan! Engkau sedang berdakwah. Sedang mempersiapkan generasi yang akan mengurusi umat ini 30 tahun mendatang. Dan ini pekerjaan sangat serius. Pekerjaan yang memerlukan kesungguhan berusaha, niat yang lurus, tekad yang kuat serta kesediaan untuk belajar tanpa henti.

Karenanya, jangan pernah main-main dalam urusan ini. Apa pun yang engkau lakukan terhadap mereka di kelas, ingatlah akibatnya bagi dakwah ini 30 40 tahun yang akan datang. Jika mereka engkau ajari curang dalam mengerjakan soal saja, sesungguhnya urusannya bukan hanya soal bagaimana agar mereka lulus ujian. Bukan. Yang terjadi justru sebaliknya, masa depan umat sedang engkau pertaruhkan!!! Tidakkah engkau ingat bahwa induk segala dusta adalah ringannya lisan untuk berdusta dan tiadanya beban pada jiwa untuk melakukan kebohongan.

Maka, ketika mutu pendidikan anak-anak kita sangat menyedihkan, urusannya bukan sekedar masa depan sekolahmu. Bukan. Sekolah ambruk bukan berita paling menyedihkan, meskipun ini sama sekali tidak kita inginkan. Yang amat perlu kita khawatiri justru lemahnya generasi yang bertanggung-jawab menegakkan dien ini 30 tahun mendatang. Apa yang akan terjadi pada umat ini jika anak-anak kita tak memiliki kecakapan berpikir, kesungguhan berjuang dan ketulusan dalam beramal?

Maka…, ketika engkau bersibuk dengan cara instant agar mereka tampak mengesankan, sungguh urusannya bukan untuk tepuk tangan saat ini. Bukan pula demi piala-piala yang tersusun rapi. Urusannya adalah tentang rapuhnya generasi muslim yang harus mengurusi umat ini di zaman yang bukan zamanmu. Kitalah yang bertanggung-jawab terhadap kuat atau lemahnya mereka di zaman yang boleh jadi kita semua sudah tiada.

Hari ini, ketika di banyak tempat, kemampuan guru-guru kita sangat menyedihkan, sungguh yang paling mengkhawatirkan adalah masa depan umat ini. Maka, keharusan untuk belajar bagimu, wahai Para Guru, bukan semata urusan akreditasi. Apalagi sekedar untuk lolos sertifikasi. Yang harus engkau ingat adalah: “Ini urusan umat. Urusan dakwah.” Jika orang-orang yang sudah setengah baya atau bahkan telah tua, sulit sekali menerima kebenaran, sesungguhnya ini bermula dari lemahnya dakwah terhadap mereka ketika masih belia; ketika masih kanak-kanak. Mereka mungkin cerdas, tapi adab dan iman tak terbangun. Maka, kecerdasan itu bukan menjadi kebaikan, justru menjadi penyulit bagi mereka untuk menegakkan dien.

Wahai Para Guru, belajarlah dengan sungguh-sungguh bagaimana mendidik siswamu. Engkau belajar bukan untuk memenuhi standar dinas pendidikan. Engkau belajar dengan sangat serius sebagai ibadah agar memiliki kepatutan menjadi pendidik bagi anak-anak kaum muslimin. Takutlah engkau kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sungguh, jika engkau menerima amanah sebagai guru, sedangkan engkau tak memiliki kepatutan, maka engkau sedang membuat kerusakan.

Sungguh, jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, tunggulah saatnya (kehancuran) tiba.

Ingatlah hadis Nabi shallaLlahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Bukhari:

إِذَا ضُيِّعَتِ اْلأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ. قَالَ: كَيْفَ إِضَاعَتُهَا يَا رَسُولَ اللهِ؟ قَالَ: إِذَا أُسْنِدَ اْلأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ.

“Jika amanah telah disia-siakan, maka tunggulah hari Kiamat,” Dia (Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu) bertanya, “Wahai Rasulullah, bagaimanakah menyia-nyiakan amanah itu?” Beliau menjawab, “Jika satu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggulah hari Kiamat!” (HR. Bukhari).

Maka, keharusan untuk belajar dengan sungguh-sungguh, terus-menerus dan serius bukanlah dalam rangka memenuhi persyaratan formal semata-mata. Jauh lebih penting dari itu adalah agar engkau memiliki kepatutan menurut dien ini sebagai seorang guru. Sungguh, kelak engkau akan ditanya atas amanah yang engkau emban saat ini.

Wahai Para Guru, singkirkanlah tepuk tangan yang bergemuruh. Hadapkan wajahmu pada tugas amat besar untuk menyiapkan generasi ini agar mampu memikul amanah yang Allah Ta’ala berikan kepada mereka. Sungguh, kelak engkau akan ditanya di Yaumil-Qiyamah atas urusanmu.

Jika kelak tiba masanya sekolah tempatmu mengajar dielu-elukan orang sehingga mereka datang berbondong-bondong membawa anaknya agar engkau semaikan iman di dada mereka, inilah saatnya engkau perbanyak istighfar. Bukan sibuk menebar kabar tentang betapa besar nama sekolahmu. Inilah saatnya engkau sucikan nama Allah Ta’ala seraya senantiasa berbenah menata niat dan menelisik kesalahan diri kalau-kalau ada yang menyimpang dari tuntunan-Nya. Semakin namamu ditinggikan, semakin perlu engkau perbanyak memohon ampunan Allah ‘Azza wa Jalla.

Wahai Para Guru, sesungguhnya jika sekolahmu terpuruk, yang paling perlu engkau tangisi bukanlah berkurangnya jumlah siswa yang mungkin akan terjadi. Ada yang lebih perlu engkau tangisi dengan kesedihan yang sangat mendalam. Tentang masa depan ummat ini; tentang kelangsungan dakwah ini, di masa ketika kita mungkin telah tua renta atau bahkan sudah terkubur dalam tanah.

Ajarilah anak didikmu untuk mengenali kebenaran sebelum mengajarkan kepada mereka berbagai pengetahuan. Asahlah kepekaan mereka terhadap kebenaran dan cepat mengenali kebatilan. Tumbuhkan pada diri mereka keyakinan bahwa Al-Qur’an pasti benar, tak ada keraguan di dalamnya. Tanamkan adab dalam diri mereka. Tumbuhkan pula dalam diri mereka keyakinan dan kecintaan terhadap As-Sunnah Ash-Shahihah. Bukan menyibukkan mereka dengan kebanggaan atas dunia yang ada dalam genggaman mereka.

Ini juga berlaku bagi kita.

Ingatlah do’a yang kita panjatkan:

“اللهُمَّ أَرِنَا الحَقَّ حَقّاً وَارْزُقْنَا التِبَاعَةَ وَأَرِنَا البَاطِلَ بَاطِلاً وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ”

“Ya Allah, tunjukilah kami bahwa yang benar itu benar dan berilah kami rezeki kemampuan untuk mengikutinya. Dan tunjukilah kami bahwa yang batil itu batil, serta limpahilah kami rezeki untuk mampu menjauhinya.”

Inilah do’a yang sekaligus mengajarkan kepada kita agar tidak tertipu oleh persepsi kita. Sesungguhnya kebenaran tidak berubah menjadi kebatilan hanya karena kita mempersepsikan sebagai perkara yang keliru. Demikian pula kebatilan, tak berubah hakekatnya menjadi kebaikan dan kebenaran karena kita memilih untuk melihat segi positifnya. Maka, kepada Allah Ta’ala kita senantiasa memohon perlindungan dari tertipu oleh persepsi sendiri.

Pelajarilah dengan sungguh-sungguh apa yang benar; apa yang haq, lebih dulu dan lebih sungguh-sungguh daripada tentang apa yang efektif. Dahulukanlah mempelajari apa yang tepat daripada apa yang memikat. Prioritaskan mempelajari apa yang benar daripada apa yang penuh gebyar. Utamakan mempelajari hal yang benar dalam mendidik daripada sekedar yang membuat sekolahmu tampak besar bertabur gelar. Sungguh, jika engkau mendahulukan apa yang engkau anggap mudah menjadikan anak hebat sebelum memahami betul apa yang benar, sangat mudah bagimu tergelincir tanpa engkau menyadari. Anak tampaknya berbinar-binar sangat mengikuti pelajaran, tetapi mereka hanya tertarik kepada caramu mengajar, tapi mereka tak tertarik belajar, tak tertarik pula menetapi kebenaran.

***

Jangan sepelekan dakwah terhadap anak! Kesalahan mendidik terhadap anak kecil, tak mudah kelihatan. Tetapi kita akan menuai akibatnya ketika mereka dewasa. Betapa banyak yang keliru menilai. Masa kanak-kanak kita biarkan direnggut TV dan tontonan karena menganggap mendidik anak yang lebih besar dan lebih-lebih orang dewasa, jauh lebih sulit dibanding mendidik anak kecil. Padahal sulitnya melunakkan hati orang dewasa justru bersebab terabaikannya dakwah kepada mereka di saat belia.

Wallahu a’lam bish-shawab. Kepada Allah Ta’ala kita memohon pertolongan. Maafkan saya.