Oleh: Ust.Djalaludin Asy Syatibi
Bismillahirrohmanirrohiim…
Seorang lelaki menegur Al-A’masyi, “Bagaimana Anda mau dikerumuni oleh anak-anak kecil seperti itu?” Lalu ulama dari kalangan Tabi’in itu menyahuti pertanyaan itu, “Kenapa tidak? Mereka itulah calon pembela agama Anda.”
Kisah di atas penulis nukilkan dari Kitab al-Kifaayah fii ‘Ilmi ar-Riwaayah karya Al-Khatib Al-Baghdady. Sungguh dalam kisah itu menyiratkan banyak pesan: kedekatan dan keakraban seorang ulama dengan anak-anak kecil, dan yang paling utama adalah bagaimana Al-A’masy melekatkan asanya terhadap anak-anak itu sebagai perisai terdepan dalam membela Islam.
Inilah yang dinamakan orientasi pendidikan anak untuk menjadi seorang pewaris para Nabi (waratsatul anbiya). Sebuah cetak biru seorang anak yang tak hanya seonggok harapan ego orang tua atau ambisi pribadinya. Tapi lebih dari itu ia adalah aspek terpenting dalam kerangka keummatan. Sang penyampai kebenaran dan tentunya sang reformis sejati seperti halnya digemakan oleh salah seorang Nabi Allah. Sang Reformis dalam bidang ekonomi Syuaib AS.,” Yang kukehendaki hanya reformasi sekuat tenagaku.” (11:88)
Adalah panutan Al-A’masy, Rasulullah SAW, telah lebih dulu memberikan isyarat ihwal cetak biru sang anak dalam kerangka keummatan. Tatkala Al-Mustafa SAW didera derita dan duka teramat dalam akibat cercaan dan lemparan batu penduduk Thaif, tepatnya di Qarnul Manazil, maka dihampirilah beliau oleh Malaikat Jibril dan Malaikat Jabal (Gunung). Kedua utusan Allah menawari Rasulullah untuk menimpakkan dua gunung atas penduduk Thaif yang enggan menerima cahaya Islam. Perhatikanlah, apa jawaban Rasulullah, “Tapi saya berharap kepada Allah agar memunculkan dari anak cucu mereka yang menyembah Allah dan sekali-kali tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.”
Nah, dalam konteks kekitaan sebagai dai, murobbi, dan penyeru dakwah, merupakan sebuah keniscayaan menjadikan anak-anak kita sebagai asset umat, yang berperan sebagai halqatul washl (penyambung) perjuangan dakwah. Bukan sekedar menghantarkan anak-anak kita meraih ego pribadinya, tanpa sedikitpun berkontribusi dan bersaham untuk ishlahul ummah-mereformasi ummat. Konsep ini kemudian dilukiskan oleh Al-Qur’an sebagai bagian dari untaian doa seorang yang sudah menginjak usia kematangan,
“…dan berikanlah aku kebaikan (wa ashlih lii) yang akan mengalir sampai anak cucuku…”(46:15)
Untaian doa itu jelas-jelas menginginkan agar generasi kemudian tertulari kebaikan-kebaikan pendahulunya, yang antara lain kebaikan sebagai dai, murobbi dan penyeru. Menarik untuk direnungi, penggalan doa wa ashlih lii dapat juga diartikan sebuah permohonan tulus agar para orangtua direformasi terlebih dulu, untuk kemudian mereka dapat mengishlaah anak cucunya, sehingga dengan demikian terjadi regenerasi kebaikan.
Tentu mencetak anak menjadi pewaris para nabi, dai, dan reformis tak segampang membalikkan telapak tangan. Ada banyak hal yang dapat mewarnai (shibghoh) sang anak. Namun dari sekian banyak hal itu, lingkungan pertama anaklah yang paling menentukan, yaitu keluarga, yang terdiri ayah dan ibu sang anak. Di sinilah peran orangtua menjadi demikian krusial dalam kaitan cetak biru si anak. Oleh karenanya, Rasulullah telah mewanti-wanti kita semua bahwa, “Kedua orangtuanya lah yang menjadikan ia seorang Yahudi atau Nasrani atau Majusi.”
Maka kata kuncinya adalah, untuk menjadikan anak itu seorang pewaris para nabi-sang reformis-, maka yang perlu dikemukakan di sini adalah: sudahkan orangtua memiliki kafaah (kompentensi) yang mushlih (reformis)? Karena faaqidu asyaysi laa yu’thiy.
Karakter Orangtua Mushlih
Pepatah mengatakan “Buah tak akan jatuh jauh dari pohonnya”. Boleh dikatakan bahwa perilaku anak merupakan miniatur orangtuanya. Artinya, anak akan merekam semua tingkah laku orangtuanya. Pasalnya, orangtua merupakan guru pertama si anak, dan demikian pula keluarga merupakan sekolah perdananya. Terlebih lagi masa anak-anak merupakan masa penyetingan paling awal yang akan dapat menghitam putihkan seorang anak.
Dalam pepatah Arab dikatakan,
العلم في الصغر كالنقش في الحجر ، و العلم في الكبر كالغرز بالإبر
“Belajar ketika kecil tak ubahnya memahat di atas batu, sementara belajar ketika sudah berumur tak ubahnya menusuk dengan jarum.”
Walhasil, orangtua yang tengah memberikan asupan tarbiyah kepada anaknya tak jauh beda dengan seseorang yang sedang mengukir di atas batu, yang tak pelak lagi ukiran itu merupakan torehan yang tak akan lekang dalam sekejap, tapi memerlukan rentang waktu lumayan lama untuk menghilangkan torehan itu.
Jadi, tak diragukan lagi bahwa orang tua memegang peranan sangat strategis dalam menentukan putih atau hitamnya seorang anak. Maka dalam kaitan ini, perlu kiranya kita-sebagai orangtua- mereevaluasi perilaku-perilaku kita, dengan sebuah pengharapan agar perilaku-perilaku kita kompeten untuk menjadi pribadi-pribadi pewaris para nabi, dai, murobbi dan seorang reformis sejati. Dengan demikian, kita tidak menjadi pribadi yang ambigu seperti disindir Allah SWT,
“Apakah kalian menyuruh manusia untuk berbuat kebajikan sementara kalian melupakan diri kalian.” (2:44)
Dan mencari sosok yang memiliki kompetensi sebagai orangtua yang ashlih lii (baca:mushlih) tidaklah sulit. Rasululah merupakan telaga teladan dalam banyak hal tanpa kecuali Rasulullah sebagai orangtua. Dan sifat-sifat Rasulullah dalam mentarbiyah anak-anaknya adalah:
Pertama, bersikap adil. Keadilan merupakan kebenaran universal. Islam memandang keadilan sebagai hal yang dapat mendekatkan kepada ketaqwaan. Penegakkan keadilan dalam tataran kehidupan bernegara sama pentingnya dalam tataran kehidupan keluarga.
Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang berlaku adil akan dimuliakan di sisi Allah di atas mimbar-mimbar yang terbuat dari cahaya, yaitu mereka yang berlaku adil dalam hukumnya, berlaku adil terhadap keluarga dan apa saja yang mereka pimpin.” (HR. Muslim)
Keadilan orangtua atas anak-anaknya akan mendatangkan ketenteram dan ketenangan. Sudah barang tentu tumbuh kembang psikologis anak akan sehat jika lingkungan tempat ia hidup sehat. Sehingga, pelbagai patologi sosial yang mengancam si anak semakin tak menemukan relevansinya. Lingkungan yang dikungkungi keadilan merupakan ranah yang haram bagi iri, dengki, benci, amarah, permusuhan dan prasangka-prasangka buruk. Dan kisah Nabi Yusuf menyisakan pelajaran penting ihwal perlakukan tidak adil yang dirasakan saudara-saudara Yusuf. Alhasil, kisah Yusuf dan saudara-saudaranya itu dipenuhi dengan intrik, konspirasi dan aksi balas dendam.
Maka wajar saja Rasulullah pernah menegur keras seorang lelaki yang mencium anak lelakinya dan tak melakukan hal yang sama terhadap anak perempuannya. “Kamu tidak bersikap adil di antara keduanya,” ujar Rasulullah (HR. Baihaqi)
Lebih tegas lagi Rasulullah berpesan kepada kita, “Bertaqwalah kepada Allah, bersikap adillah terhadap anak-anak kalian.” (HR. Muslim)
Kedua, bersikap sabar, yaitu menahan jiwa dari rasa putus asa, lisan dari keluh kesah dan jasmani dari aksi-aksi vandalisme. Jiwa menyekam rasa putus asa, lisan ekspresi kata-kata dan puncaknya diekspresikan oleh aksi-aksi brutal yang tak terkendali.
Adalah anak-anak yang kerapkali menjadi sumber rasa putus asa, kekesalan dan tumpahan kekerasan fisik. Pasalnya, dunia anak selain menggemaskan sekaligus mengesalkan. Karenanya orangtua dituntut sabar dalam menghadapi anak-anaknya. Sesungguhnya dalam kesabaran itu ada kejernihan pikir. Rasulullah menyebutnya “Sabar itu cahaya”. Sesungguhnya pula kesabaran itu sifat pemimpin sejati. Bersikap sabar terhadap anak berarti pula mengajari anak secara verbal tentang makna penting dari kesabaran, yang merupakan prasyarat kandidat pemimpin handal. Faktanya pemimpin akan selalu dihadapkan pada pelbagai macam prilaku dan masalah yang mendera rakyatnya.
“Dan kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat kami.”(As-Sjadah: 56)
Ketiga, kasih sayang. Allah SWT telah menjadikan anak sebagai pribadi yang sangat tergantung kepada orang lain, terutama ibunya. Sebuah studi menemukan bahwa anak bayi akan mengenal ibunya hanya beberapa saat sejak kelahirannya melalui ciuman. Lalu, mulailah sang anak itu menantikan perlindungan, kelembutan dan sentuhan kasih sayang dari orang-orang di sekitarnya. Karena itu, anak akan selalu mencari orang yang membuatnya sumringah, membelai wajahnya, memanjakannya, mencandainya dan mengajaknya bicara dan bermain. Maka, sejauh mana kelembutan dan kasih sayang yang diberikan kepada si anak, sejauh itulah kelapanga dirinya untuk mencintai dan mengasihi orang lain di masa depan.
Diriwayatkan bahwa suatu ketika Rasulullah shalat Jum’at sambil menggendong putri beliau Umamah Binti Zainab. Jika Rasulullah sujud, beliau meletakkannya dan manakala bangkit dari sujud, beliau menggendongnya kembali. Pada riwayat lainnya diceritakan bahwa Rasulullah mempercepat shalatnya gara-gara ada anak yang tengah menangis.
Abdullah bin Syidad menceritakan,
بينما رسول الله صلى الله عليه و سلم يصلي بالناس إذ جاءه الحسين فركب عنقه و هو ساجد ، فأطال السجود بين الناس حتى ظنوا أنّه قد حدث أمر فلما قضى صلاته ، سألوه عن ذلك ، فقال عليه الصلاة و السلام : (إن ابني ارتحلني ، فكرهت أن أعجله حتى يقضي حاجته
Ketika Rasulullah menjadi imam shalat, tiba-tiba Husen datang menghampiri beliau dan langsung menunggangi leher beliau ketika beliau sujud, maka beliau memanjangkan sujudnya sampai-sampai orang menyangka bahwa telah terjadi sesuatu hal. Ketika shalat selesai, mereka bertanya ihwal kejadian itu. Rasulullah SAW mengatakan, “Sesungguhnya anakku menunggangiku, maka saya tidak mau ia terburu-buru (agar turun) sampai ia merasa puas.” (HR. An-Nasai)
Jika saat shalat saja Rasulullah tetap mencurahkan rasa kasih sayang dan kelembutan terhadap anak, tentu min baabil aula saat-saat di luar shalat. Ini saja sudah memberikan sinyal sangat kuat bahwa memperlakukan anak dengan penuh kasih sayang adalah sebuah kewajiban yang tidak boleh disepelekan.
Sebenarnya sikap keras hati dan kasar hanya akan membuat orang menjauh. Demikian pula sikap kasih sayang akan kian mendekatkan hubungan anak dengan orangtuanya. Pada spectrum yang lebih luas lagi, lembut dan kasih sayang menyebabkan mendekatnya obyek-obyek dakwah. Allah telah memberikan bimbinganNya,
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah Lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma’afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu Telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.”
Dan akhirnya, secara lugas dan tegas Rasulullah mengatakan, “Sesungguhnya setiap pohon itu berbuah. Buah hati adalah anak. Allah tidak akan menyayangi orang yang tidak sayang kepada anaknya.”
Lalu Rasulullah melanjutkan,
والذي نفسي بيده! لا يدخل الجنة إلاّ رحيم
“Demi Dzat yang jiawaku ada di Tangan-Nya, tidak akan masuk surga kecuali penyayang.” (HR Ibnu Bazzar)
Keempat, menjadi teladan. Keteladanan merupakan cara paling efektif dalam transfer berbagai corak nilai-nilai kebaikan. Pepatah Arab mengatakan bahwa contoh nyata satu orang bagi seribu orang lebih baik ketimbang kata-kata seribu orang untuk satu orang. Dalam kaitan ini orangtua benar-benar dituntut bisa menyelaraskan segala bentuk perilakunya. Hal demikian karena anak akan selalu melihat dan meniru tingkah pola orang tua ketimbang kata-katanya. Bagi anak, bahasa tubuh lebih mudah dipahami daripada bahasa lisan.
Ibnu Abbas mengenang masa kecilnya bersama Rasulullah, “Aku bermalam di rumah bibiku, Maimunah, dan aku melihat Rasulullah bangun malam. Setelah memasuki sebagian malam, beliau bangun dan berwudhu ringan dengan air dari dalam kantong kulit yang digantung di dinding kamarnya. Usai itu beliau pun mengerjakan shalat malam. Aku pun ikut bangun dan berwudhu dari tempat air yang dipergunakan beliau, kemudian aku berdiri shalat di samping kiri beliau, lalu beliau memindahkanku ke samping kanannya.” (HR Bukhari)
Selain itu, orangtua juga dituntut untuk senantiasa menyelaraskan antara perbuatan dan perkataan. Hal itu akan membantu anak dalam menginternalisasi nilai-nilai kejujuran pada diri anak. Abdullah Ibnu Amir bertutur bahwa saat Rasulullah berada di rumahnya tiba-tiba sang ibu memanggilnya, “Kemarilah! Saya akan memberimu.” Rasulullah pun menyela, “Apa yang akan engkau berikan?” “Saya akan memberinya kurma,” ujar wanita itu. Nabi pun menasehatinya, “Ingat! Jika ternyata engkau tidak memberinya apapun maka engkau akan tercatat sebagai pembohong.” (HR Abu Dawud)
Maka, tatkala seorang anak melihat adanya keselarasan antara kata-kata dan perbuatan, pada hakikatnya anak sedang diajari makna kejujuran, integritas dan komitmen. Imbasnya, orangtua akan memiliki wibawa di mata anak, sehingga orangtua akan selalu digugu, ditiru dan ditaati. Inilah yang dinamakan birrul waalidain, berbakti kepada orangtua.
Keterlibatan orangtua dalam memberikan keteladanan terhadap anak, adalah bagian dari sikap responsive orangtua dalam mempersiapkan anaknya untuk berbakti, tidak malah durhaka. Model orangtua proaktif seperti itu akan mendapatkan rahmat Allah SWT. “Semoga Allah merahmati orangtua yang menolong anaknya agar berbakti kepadanya,” kata Rasulullah (HR Ibnu Hibban)
Kelima, karakter orangtua yang reformis adalah senantiasa menghargai sang anak. Adalah Rasulullah yang pernah membariskan Abdullah, Ubaidillah dan anak-anak Abbas lainnya. Beliau mengatakan, “Siapa saja yang dapat mendahului saya, dia akan mendapatkan ini.” Maka mereka pun berlomba membalap Rasulullah sehingga mereka berjatuhan di atas dada dan punggung beliau. Setelah itu mereka dipegangi dan diciumi oleh beliau. Itulah sebuah bentuk penghargaan Nabi terhadap anak-anak.
Menghargai anak adalah bentuk pengakuan terhadap keberadaan sang anak, sehingga anak akan termotivasi untuk mengembangkan potensinya tanpa merasa malu dan minder. Ketika anak itu dihargai dan dipuji, maka itu akan membuatnya terdorong untuk kembali melakukan pekerjaan kebaikan yang pernah dilakukannya.
Ibnu Abbas bertutur, saat Rasulullah pergi ke tempat buang hajat, saya menyediakan air untuk wudhu beliau. Usai buang hajat, beliau melihat air tersebut telah tersedia. “Siapa yang membawakannya?” Tanya beliau. Setelah saya memberitahukannya, maka beliau pun mendoakan aku sebagai bentuk penghargaan,
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِى الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ilmu tentang tafsir Al-Qur’an.”
Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim itu merupakan kisah bagaimana Rasulullah memberikan penghargaan atas inisiatif Ibnu Abbas, dimana penghargaaan itu tidak identik dengan materi, tapi juga meliputi kata-kata yang membuat sang anak bersemangat.
Keenam, mengayomi. Syaikh Muhammad AL-Khidr dalam bukunya As-Sa’adatul Udhma memberikan sebuah analisa, banyak orang tidak menyadari kalau anak adalah salah satu dari pemimpin umat, hanya karena masih tertutup dengan baju anak. Seandainya apa yang ada di balik bajunya dibukakan kepada kita, niscaya kita akan melihat mereka layak disejajarkan dengan para pemimpin. Namun, sunnatullah menghendaki agar tabir itu disibakkan sedikit demi sedikit melalului pendidikan.
Merujuk ke analisa tadi, maka orangtua dituntut untuk mengayomi bakat-bakat dan kemampuan anak yang tersembunyi di balik tabir, bukan malah membunuhnya. Mengayomi artinya memelihara potensi-potensi anak sembari berupaya memberikan stimulasi-stimulasi untuk mengembangkan potensi anak seperti dengan metode bercerita, reward dan punishment, dan games-games yang bermanfaat. Oleh karena itu, orangtua dituntut kreatif dalam upaya pengembangan ini.
Adalah Umar bin Khatab yang telah memberikan contoh bagaimana mengayomi dan mengembangkan potensi seorang anak bernama Ibnu Abbas. Umar pernah mengajak Ibnu Abbas ke sebuah pertemuan yang dihadiri para pembesar Badar. Sebagian dari mereka mempertanyakan sikap Umar itu, karena mereka melihat majlis itu tak diperuntukkan untuk anak kecil. Hingga akhirnya para pembesar Badar itu sadar ihwal ketinggian ilmu Ibnu Abbas meski masih belia ketika Ibnu Abbas memberikan makna dari Surat An-Nashr sebagai isyarat sudah dekatnya ajal Rasulullah.
Sejarah Islam pun mencatat banyak sosok belia yang punya peran penting dalam kerangka keummatan. Usamah bin Zaid pada usia 17 tahun tercatat sebagai panglima perang dalam sebuah pasukan yang akan menghadapi tentara Romawi di wilayah Syam, padahal dalam pasukan itu tercatat nama Abu Bakar dan Umar. Rasulullah mengutus Muadz bin Jabal sebagai duta Islam ke Yaman. Saat itu Muadz berusia 19 tahun.
Tentu yang harus diperhatikan para orangtua dalam proses pengembangan ini adalah adanya pentahapan (tadarruj), karena kemampuan akal seorang anak sangat berbeda dengan orang dewasa. Rasulullah bersabda, “Perintahlah anakmu untuk shalat ketika berusia tujuh tahun dan pukullah mereka (jika enggan shalat) ketika berumur sepuluh tahun.” (HR Abu Dawud)
Ketujuh, komunikatif. Sebenarnya dari semua nilai-nilai yang akan diberikan kepada anak tidak akan pernah tersampaikan secara baik bila saluran komunikasinya buruk. Maka orangtua haruslah menjadi pribadi yang komunikatif, tidak tertutup dan berbicara hanya satu arah. Terjadinya komunikasi sehat antara orangtua dengan anak akan membantu menumbuhkan dan mempertajam penalarannnya serta menjadi lebih terbuka.
Umar pernah mendapati pengaduan seseorang yang anaknya dianggap durhaka. Umar pun bertanya kepada anak itu, “Apa yang menyebabkan kamu durhaka kepada ayahmu?” “Wahai Amirul Mukminin, apa sajakah hak anak yang harus ditunaikan oleh orangtuanya,” Tanya anak itu. Umar menjawabnya, “Memberi nama yang baik, memilihkan ibu yang baik dan mengajarinya Al-Qur’an.” Anak itu mengatakan, “Wahai Amirul Mukminin, ayahku tidak melaksanakan sedikit pun perkara itu terhadapku.” Maka Umar pun menasehati orangtua itu, “Kamu telah mendurhakai anakmu sebelum anakmu mendurhakaimu.”
Sangat jelas sekali buah dari adanya dialog yang komunikatif adalah adanya keterbukaan. Dengan begitu, segala permasalahan akan segera dapat ditemukan cara penyelesaiannya.
Demikianlah tujuh karakter orangtua reformis, yang kesemua karakter itu pada dasarnya merupakan sikap dasar seorang dai dan murobbi. Sebenarnya ketujuh karakter itu merupakan perilaku yang harus dipraktekkan, bukan sekedar teori kata-kata. Dengan demikian, para orangtua harus mempraktekkan karakter-karakter itu dengan sebenar-benarnya. Wallahua’lam bish showwab
*) Ust.Djalaludin Asy Syatibi adalah seorang tokoh agama di Bandung, mungkin teman-teman aktivis di Bandung sudah sangat familiar dengan nama beliau. Beliau adalah pendiri ponpes Miftahul Khoir di Bandung. dari segi usia beliau sudah termasuk sepuh namun beliau terkenal sebagai ustadz yang suka bercanda, sehingga materi-materi ceramahnya disampaikan dengan suasana yang ringan namun tetap dengan kedalaman ilmu dan hujjah. Beliau juga adalah kakak dari ustadz Syaiful Islam Mubarak, Lc yang merupakan tokoh dakwah juga di Bandung dan merupakan pendiri serta pencetus metode Tahsin sebagai metode belajar membaca Al Qur’an.